Teeeeng!!! Bel berbunyi 3 kali, tanda istirahat kedua. Aku mulai
menyiapkan buku peminjam, buku pengembalian dan bolpoin di mejaku. Ku
hentikan sejenak koneksi internetku, agar pekerjaanku tidak terganggu.
Tak lama kemudian mejaku dipenuhi hiruk pikuk suara anak-anak berebut
layananku.
“Mba, aku mau pinjam bengkel facebook, yang dipinjem ana kemarin” teriak Budi
Sebelum sempat ku jawab, setumpuk buku IPS sudah ada di meja. “Mba ini dihitung dulu, tadi pinjam 28 kelas VII F” kata Dian
“Iya satu-satu ya.. Budi sabar dulu, bukunya masih di dalem, Dian ini
langsung ke rak aja, nanti mau di pakai kelas lain” jawabku cepat, karna
msih banyak juga yang usil di ruangnku ini dan butuh peringatanku juga.
“Budi masuk ke ruang mbak Diah, di kotak biru no 2, ambil sendiri, lalu tulis di buku peminjam, kartunya taruh meja saya, oke?”
“Siap mbak!” jawab Budi
“Mbak Diah, di panggil Pak Indra sehabis jam istirahat” kata biyan, anak kelas IX sambil berlalu begitu saja.
“Biyan.. kamu dipeseni siapa?” tanyaku agak keras karna Biyan sudah ada di pintu keluar.
“Kata pak Indra sendiri mbak” jawab Biyan
“Mbak kartuku hilang mbak, gimana nih ga bias pinjem buku, padahal ada
tugas di buku paket, bias pinjem kartu temen yaa.. mbak?” kali ini aku
setengah agak bingung mendengar panggilan tadi, aku jadi tidak bisa
melayani anak-anak lagi.
“Iya..ya bias, ambil aja bukunya” jawabku tanpa ku tau siapa yang
bertanya tadi. Hatiku bahkan tak bisa berhenti berdegub kencang, ada apa
pak Indra memanggilku, hal yang tak biasanya ia lakukan. Terakhir Pak
Iman dipanggil, ia diberhentikan sementara karna keuangan sekolah tak
lagi mampu mencukupi gaji tukang kebun.
“Teeeeeeeeeeeeeng!!” Suara bel membuayarkan anganku. Aku bergegas
membereskan meja, mengunci laci meja, dan ruangan perpustakaan. Aku
menuju runag Pak Indra di ujung halaman sekolah.
“Permisi Pak Indra” sapaku lirih sambil melangkah masuk pintu ruangan bapak Kepala Sekolah di SMP Bayangkari tersebut.
“Iya Mbak Diah masuk, silakan duduk, tunggu sebentar saya masih ada
kerjaan” jawabnya sambil mengutak-atik laptop di meja kerjanya. Aku tak
heran Pak Indra memang sosok pemimpin yang cerdas, banyak kesibukan di
sana dan di sini, banyak ikut lembaga social dan sekaligus menjadi
tauladan bagi karyawan dan guru di sini.
“Mbak Diah, besok pagi tolong siapkan Ijazah terakhirnya, KTP, sama
transkrip nilai terakhir kuliahnya, ya.. semester berapa ya mbak?”
“Ehm.. saya semester 9 pak, insyaallah tinggal skripsi. Maaf pak masing-masing rangkap berapa?”
“Cukup 2 aja, Cuma buat arsip sekolah aja kok mbak. Gini mbak, mbak diah
kan jurusannya Bahasa Inggris, ambil pendidikan lagi, jadi harusnya
Mbak Diah ngajar kan, bukan di ruang perpus. Saya mau coba liat Mbak
Diah ngajar di kelas tuh kayak gimana, kalo mbak Diah kerjanya bagus,
nanti bias saya geser ke guru Bahasa Inggris, sebentar lagi kan Pak
Tamam pension”
“Eh..saya terima kasih banyak pak, Pak Indra sudah memberikan kesempatan
kepada saya, sungguh saya tidak menyangka, terima kasih pak” jawabku
dengan suara gemetar.
“Iya, saya liat kamu ulet, tlaten, Bahas Inggris kan masuk UN, jadi
mulai minggu depan kita atur jadwalnya kamu mulai bantu Pak Tamam,
supaya hasil UN kita bagus, kamu ngerti ya?”
“Iya pak, saya pasti bersedia, saya usahakan yang terbaik, tapi pak, apakah saya tetap menjadi petugas perpustakaan juga?”
“O.. iya, kita belum mampu menggaji karyawan baru, sementara ini saya
kasih kamu 4 jam pelajaran aja dan hanya di kelas IX, sisanya kamu
gunakan waktumu mengerjakan administrasi perpustakaan. Nah, kalo Pak
Tamam ada jam ekstra, atau les kamu siap temani beliau, tentu saja
setelah jam pulang, setelah perpustakaan tutup”
“Baik..baik pak, terima kasih, tapi saya mohon jadwalnya bias diatur agar tidak bentrok dengan jam kuliah saya pak”
“O.. iya pasti, besok siapkan berkas tadi, saya buatkan SK mengajar. Sekarang kamu boleh kembali bekerja”
“Iya.. ya pak, terima kasih banyak pak” jawabku sambil berdiri menjabat
tangan Pak Indra sebagai ungkapan bahagiaku dan rasa terima kasih yang
tak terhingga.
Sepulang kerja, ku peluk ibuku dank u sampaikan apa yang Pak Indra
bicarakan tadi, ibuku menyambutnya dengan suka cita. Siang itu
benar-benar hari yang tak akan pernah ku lupakan dalam hidupku. Sejarah
akan dimulai sejak hari itu.
Hari ini setelah jam istirahat kedua aku akan masuk kelas untuk pertama
kalinya. Telah kupersiapkan materi, mental dan semangatku untuk menjadi
guru. Pak Tamam menghampiriku di teras perputakaan.
“Yuk mbak, sudah baca RPPnya belum” sapa Pak Tamam sambil tersenyum
“Sudah Pak” jawabku mengikuti langkahnya
Hatiku bergegub kencang, tanganku gemetar, tak bisa ku pungkiri meski
ini hari yang kutunggu sepanjang hidupku, aku tak bisa mengelak aku
sangat grogi. Serasa menjalar di sekujur tubuhku ribuan semut yang siap
membekukan tangan dan kakiku. Ku baca doa dalam hati agar nanti aku
tidak melakukan kesalahn besar. Sesampainya di kelas, aku angkat
pundakku lebih tinggi dan berusaha pasang muka percaya diri. Dalam
hatiku berkata “Yes, I’m a teacher”.
“Loh kok mbak Diah ikut pak?” celetukan salah satu siswa. Lainnya lagi menimpali
“Mbak Diah mau ngecek yang belum bayar denda kamus”
“Ggrrrrrrrrrrrr” satu kelas tertawa riang, seolah puas menertawakan
kesalahanku. Langkahku mulai gontai, sebelum Pak Tamam menenangkan
kelas.
“Dengarkan anak-anak mulai sekarang jangan panggil Mbak Diah di kelas
ini dengan panggilan Mbak, karena Bu Diah akan menggantikan Bapak nanti
kalau Bapak pension, jadi mulai sekarang panggil mbak Diah dengan Bu
Diah” suara pak tamam yang lantang sedikit menenangkan hatiku.
“Loh pak kok sekarang mbak Diah ikut masuk kelas, katanya ganti Pak
Tamam kalo pension?” Tanya Nadia, cewek paling heboh di SMP ini.
“Jadi mulai hari ini bu Diah akan membantu Bapak mengajarkan Bahasa
Inggris di semua Kelas IX, terutama menjelang UN ini, dan ingat tidak
ada lagi yang memanggil mbak, jelas!!!” Jawaban Pak tamam sangat
bijaksana.
“Okey class open your book page 112” lanjut Pak Tamam.
Hari itu aku belum mulai ngajar, aku baru dianggap magang, masih
observasi lapangan, sesekali Pak Tamam menyelipkan ilmunya untuk
diajarkan kepadaku juga. Beliau mengajarkan bagaimana trik mengajar anak
yang bandel di kelas, mengajarkan cara membuat perangkat pembelajaran,
memulai pembicaraan dalam Bahasa Inggris, dst. Hari itu ku catat dalam
diaryku, ku masukkan dalam daftar best day of my life. Hari-hari
berikutnya masih ku lalui dengan hal yang hampir sama. Anak-anak masih
memanggilku mbak, masih meremehkan saya, masih minta dibuatkan PR,
seperti ketika aku masih hanya sebagai petugas perpustakaan. Belum
kutemui masalah berarti sampai tiba saatnya suatu pagi pukul 06.55 WIB,
aku menerima sms dari Pak Tamam, bahwa beliau terjebak macet dan saya
harus masuk ke kelas pada jam pertama di kelas VIII B. Padahal aku sama
sekali belum pernah diajak Pak Tamam masuk kelas VIII. So…
“Teeeeeeeeeeeng!!” I have to go…! Aku berjalan pasti ke arah kelas
VIIIB meski aku sendiri tak tau apa yang harus saya bahas nantinya di
kelas.
“Morning class” sapaku begitu aku sampai di ujung pintu kelas
“Haa haaa Mbak Diah, morning mbak” jawab beberapa anak sambil ku dengar
masih ada suara ledekan. Tapi aku berusaha seolah-olah aku tak
mendengarnya.
“Semua dengarkan, Pak Tamam sebentar lagi datang, saya hanya akan
mengisi 1 jam pertama saja, sebelumnya mari kita berdoa bersama”
30 menit kemudian, mas Lutfi masuk ke kelasku sambil terengah-engah
“Mbak… Pak Tamam kecelakaan, sekarang ada di ruang BP, Mbak Diah dipanggil Pak Indra”
Tanpa banyak Tanya aku berlari menuju BP, ku dengar hiruk pikuk
anak-anak yang mendengar berita tadi, karna Mas Lutfi berbicara dalam
suara keras.
“Pak bagaimana Pak Tamam?” tanyaku kepada pak Indra di depan BP
“Alhamdulillah tidak parah Bu, Cuma mungkin dalam beberapa minggu belum
bias pulih, jadi saya minta Bu Diah mengganti setiap kelas yang Bahas
Inggrisnya diampu beliau” jawab Pak Indra
“Lalu perpustakaan?”
“Nanti sambil jalan kita minta bantuan siswa yang piket”
“Baik pak, saya mau permisi lihat kondisi pak Tamam dulu”
“Ya silakan”
Ku lihat kerumuman beberap guru di ruang BP. Di lutut kaki kanannya
masih mengalir darah segar, bajunya robek, di beberapa bagian tangan dan
wajah ada sedikit memar dan lecet. Ku sentuh tangan Pak Tamam, “Pak
gimana?”
“Ah ngga apa-apa, nitip anak-anak dulu ya?” seraya menepuk pundak saya
“Iya pak yang penting Bapak sembuh dulu”
Hari-hari selanjutnya aku mulai kewalahan dengan jam Pak Tamam dan
tugas ku di perpustakaan, belum lagi aku kuliah di sore hari, jadi
pekerjaan Pak Tamam tidak bias ku kerjakan di rumah. HHHGGHHH… berasa
benar-benar menjadi guru. Di lain pihak aku tak ingin melihat Pak Tamam
yang belum pulih kembali mengajar, namun kadang ketika letih mendera aku
ingin sekali mengharap Pak Tamam ada bersamaku di kelas. Belum lagi
menghadai anak-anak yang bandel dan sering tidak mengerjakan tugas.
Sementara pada jam istirahat aku harus tetap bertuagas di perpustakaan.
Jadi kadang dalam sehari aku tidak sempat istirahat barang semenitpun.
Namun jauh di lubuk hatiku aku merasakan kebahagiaan, kepuasan menjadi
seorang guru, dan tantangan yang harus ditaklukkan.
3 Minggu kemudian, dimana aku mulai berharap Pak Tamam mulai sembuh
dan siap mengajar lagi, aku mendengar berita duka, bahwasanya Pak Tamam
tidak bias berjalan lagi dikarenakan kaki kanannya mengalami patah
tulang. Beliau harus menjalani sekian terapi dan pengobatan lagi. Hingga
akhirnya tepat 1 bulan setelah kecelakaan itu istri pak Tamam
mengajukan surat pension kepada Pak Indra. Mengingat keadaan beliau dan
jangka pension yang tinggal 2 tahun lagi. Sejak saat itu aku diangkat
menjadi guru honorer Bahasa Inggris pengganti Pak Tamam. Sementara
posisiku digantikan oleh Ida, keponakan Pak Indra yang memang kuliah D3
Perpustakaan dan sudah hamper selesai.
Mungkin ini memang sudah jalanku, lewat Pak Tamam semua ini menjadi
nyata. Yes, my dream comes true. Meski masih sebagai guru honor, namun
aku sudah mampu mebahagiakan ibuku dan almarhun bapakku. Beliau yang
punya cita-cita, anaknya menjadi guru. Aku semakin yakin dengan
pekerjaan ini, semoga Pak Tamam segera diberi kesehatan dan panjang
umur. Sesekali aku mampir rumahnya meminta tambahan ilmu. Sambil
bercerita tentang anak-anak hari itu. Setidaknya aku masih ingin melihat
Pak Tamam tersenyum gembira di hari tuanya. Karna hanya itu ungkapan
terima kasih yang bisa ku berikan.
6 bulan kemudian aku lulus, dengan gelar S.Pd. Semoga kelak aku dapat
juga menjadi pegawai seperti harapan orang tuaku. Amiin. Lebih dari itu
aku ingin menjadi guru yang lebih baik setiap harinya. Thanks to pak
Indra, Thanks to pak Tamam.
0 komentar:
Posting Komentar