Oleh Gede H. Cahyana
Dapat dipastikan, semua orang tahu lingkungan. Tak seorang
manusia pun yang tidak tahu perihal lingkungan. Kaum Badui di Kabupaten Lebak
Provinsi Banten pasti berteman dengan lingkungan. Komunitas Trunyan di sekitar
Danau Batur dan warga Tenganan di Bali juga berkawan dengan lingkungan. Suku
Anak Dalam di pedalaman Jambi pun bagian dari lingkungan. Suku Tengger di Bromo
pasti mengenali lingkungannya. Begitu juga Dayak, Batak, Sasak, dan suku-suku
di Papua, Sulawesi, dan kelompok masyarakat lainnya adalah bagian dari
lingkungan, termasuk manusia yang tinggal di perkotaan. Singkatnya, manusia
tanpa kecuali, dikitari oleh lingkungan.
Sejak lahir sampai maut menjemputnya, manusia akrab dan bermain
dengan lingkungan. Setelah dimakamkan, jasadnya bersatu dengan lingkungan
kemudian memberikan kehidupan berupa nutrisi kepada mikroba, rerumputan dan
pohon di sekitarnya. Sebelum malaikat Izrail melaksanakan tugasnya, yakni
selama mengisi hidupnya di dunia, manusia banyak belajar tentang lingkungan,
termasuk semasa menjadi murid di pesantren, sekolah atau madrasah. Pelajaran
kimia, biologi, fisika, dan geografi banyak mengetengahkan lingkungan dan
masalahnya. Kalau demikian, mengapa murid yang sudah belajar biologi di
pesantren, sekolah atau madrasah diwajibkan lagi mengambil mata kuliah
lingkungan ketika berstatus mahasiswa? Lantas, mengapa namanya Pendidikan
Lingkungan (environmental education) bukan Pengetahuan Lingkungan (environmental
knowledge) yang sudah
berlangsung sejak dekade 1970-an? Jawaban pertanyaan ini diuraikan di alinea
selanjutnya.
Aspek Sejarah
Masalah lingkungan, misalnya pencemaran (polusi, pollution) air, tanah, dan udara masif (massive), besar-besaran terjadi di semua daerah di Indonesia,
di desa maupun kota tanpa kecuali. Sebabnya berbagai macam, satu di antaranya
adalah pengusaha yang hanya mengeksploitasi sumber daya alam dan abai pada
kelestariannya. Mereka tak peduli pada bencana lingkungan yang mengintai
anak-cucunya pada masa depan. Ketika dibawa ke meja hijau hanya sedikit di
antara mereka yang berhasil dibui, selebihnya bebas melenggang ke luar penjara.
Yang berhasil dipenjarakan pun hanya sekadarnya, singkat waktunya sehingga tak
menghasilkan efek jera. Perusakan lingkungan pun terjadi lagi, bahkan lebih
parah daripada sebelumnya. Itu sebabnya, perangkat peradilan (jaksa, hakim,
polisi) wajib memahami seluk-beluk masalah lingkungan sehingga mampu maksimal
memenjarakan pengacau lingkungan.
Semua ragam kasus pencemaran lingkungan, baik yang disebabkan
oleh pabrik maupun domestik (rumah tangga), menjadi cermin betapa rendah mutu
pengelolaan lingkungan kita yang diawali oleh kegagalan pendidikan lingkungan
atau baru sebatas pengetahuan saja, belum menjadi karakter harian (afektif) dan
perilakunya (psikomotorik). Apatah lagi kalau tak diberikan pendidikan
lingkungan, dipastikan sarjana yang kian banyak jumlahnya akan buta-tuli soal
lingkungan. Mereka tuna lingkungan. Sains dan teknologi memang
hanyalah alat bantu yang terus berkembang hasil olah pikir, kontemplasi dan
riset saintis-teknolog. Bisa dikatakan, kerusakan lingkungan bukan karena sains
dan teknologi melainkan karena etika, moral dan life-stylemanusia. Banyak contoh yang dapat
diketengahkan perihal peran moral dan gaya hidup sebagai sumber bencana.
Dapatlah dipahami pendapat yang mengatakan bahwa tidak ada bencana alam. Yang
ada hanyalah bencana akibat ulah manusia yang tidak arif terhadap alam(environmental wisdom), tidak bersahabat dengan lingkungan(environmental friendly) dan hanya berpikir anthropocentris bukanenvirocentris.
Faktanya demikian. Kebanyakan manusia enggan memedulikan
lingkungan. Sebagai contoh, pencemaran air, tanah, dan udara selalu terjadi dan
makin parah dari waktu ke waktu. Begitu juga banjir akibat pembabatan hutan,
buang sampah ke selokan dan sungai seperti yang selalu menimpa ibukota Jakarta.
Bahkan Benyamin S, seorang aktor asli Betawi, lewat lagunya sudah
memperingatkan penduduk dan pejabat di Jakarta bahwa daerahnya rawan banjir.
Sudah sejak 1970-an Jakarta dilanda banjir dan terjadi sampai sekarang,
terutama ketika musim hujan. Tidakkah kalangan pintar di Jakarta itu belajar
dari pengalaman sehingga tinggi kecerdasan lingkungan (Enviro Intelligence) atau Enviro Quotient (EnQ)?
Satu hal yang dilupakan pejabat di Jakarta ialah mengelola
lingkungan secara bersahabat. Mereka tidak optimal mengelola EnQ tetapi hanya
berbekal kecerdasan otak (Intelligent Quotient) tetapi miskin kecerdasan akhlak (Spiritual Intelligence). Padahal sejak 1970-an wanti-wanti sudah
dirilis oleh Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo.
Begawan ekonomi penulis Science, Resources, and Development ini pada tahun 1977 telah memperingatkan
pemerintah bahwa akan terjadibooming dan blooming teknologi yang dapat menjadi bumerang bagi manusia kalau
tidak arif menyikapinya. Mantan menteri ini menyatakan bahwa harus ada
teknologi yang protektif (protective technology) atas lingkungan. Idenya itu dipublikasikan sebelum rezim Orde
Baru merilis Kementerian Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup (Menneg KLH)
pada tahun 1978.
Teknologi protektif pada masa sekarang justru menjadi poin
terpenting karena berkaitan langsung dengan kelestarian fungsi lingkungan,
keterkaitan antara manusia dan alamnya. Semua manusia tanpa kecuali, kaya
miskin, tua muda, dapat menjadi agen perusak atau pemberdaya lingkungan. Sudah
pula terbukti, deretan gelar akademik dan kepangkatan seseorang, juga hartanya,
tidak berkorelasi linier dengan pemahamannya atas persoalan lingkungan. Banyak
orang pintar yang berjabatan dan berpangkat justru pelaku masif balak-liar (illegal logging). Nihil rasa memilikinya (sense of belonging). Mereka tidak merasa menjadi pemangku (stakeholders) fungsi lingkungan lantaran tidak maksimal
pemahamannya atas fungsi lingkungan. Atau, mereka memang belum tahu peran
penting kelestarian fungsi lingkungan sehingga berpendapat bahwa lingkungan
boleh dieksploitasi seenak perutnya.
Namun kalau berpikir positif, perilaku di atas masih bisa diubah
dan belum terlambat karena bisa belajar Pendidikan Lingkungan secara informal.
Sebab, ciri khas pendidikan (tarbiyah, education) ialah seumur hidup, sampai akhir hayat. Di mana pun dan kapan
pun, manusia perlu pendidikan, baik yang berkaitan dengan jasmani maupun
ruhani. Dua jenis pendidikan ini sesungguhnya bersatu dalam perbedaan,
seolah-olah bayi kembar yang berasal dari satu sel telur (ovum) sehingga sekilas tak dapat dibedakan.
Pendidikan memasukkan dua kategori besar, yaitu sains (science) dan teknologi (technology). Keduanya saling dukung untuk menghasilkan
produk berupa barang dan jasa yang dapat melancarkan kegiatan manusia. Produk
inilah yang dapat menghasilkan nilai positif bagi lingkungan sekaligus
menimbulkan dampak negatif berupa masalah lingkungan. Masalah lingkungan yang
diakibatkan oleh perkembangan sains dan teknologi dapat berujung pada derita
manusia. Tetapi bisa juga berujung pada kebahagiaan manusia lantaran sains,
teknologi, lingkungan merupakan segitiga sama sisi yang masing-masing berperan
dalam kehidupan manusia. Terminologi yang digunakan ialah Trilogi Pendidikan.
Di bagian awal bab ini ada pertanyaan, mengapa perlu
diadakan Pendidikan Lingkungan di perguruan tinggi? Bukankah sudah ada
pelajaran serupa di SD, SMP, SMA, dan pesantren (islamic boarding
school)? Betul..., sudah ada
pelajaran yang erat kaitannya dengan lingkungan dan memiliki variasi nama yang
khas. Namun tidak semua pesantren, madrasah, SD, SMP, SMA baik yang negeri
maupun swasta sudah menyediakan pelajaran lingkungan secara formal. Mayoritas
siswa belum diberikan pelajaran lingkungan secara khusus, bukan menjadi bagian
kecil dalam sebuah pelajaran, misalnya pelajaran biologi. Artinya, kedudukan
mata pelajaran atau mata kuliah Pendidikan Lingkungan selayaknya setara dengan
mata pelajaran atau mata kuliah yang lain. Di ITB mata kuliah ini (namanya Ilmu
atau Pengetahuan Lingkungan) pada mulanya diberikan kepada mahasiswa Tahun
Pertama Bersama (TPB) dan berlangsung sejak 1975 sampai sekarang.
Secara ekopolitis, Pendidikan Lingkungan kali pertama dikenalkan
pada konferensi IUC (International Union for Concervation of Nature and Natural
Resourses) atau Perserikatan
Internasional untuk Konservasi Alam dan Sumber Daya Alam) pada 1971. Konferensi
yang berlangsung pada 15 s.d 18 Desember 1971 di Gottlieb Duttweiler Institute
di Ruschlikon, Zurich berhasil merumuskan definisi Pendidikan Lingkungan
sebagai berikut: Environmental education is the process of recognizing values and
clarifying concepts in order to develop the skills and attitude that are
necessary to understand and appreciate the interrelations among man, his
culture, and his biophysical surrounding. Environmental education also entails
practice in decision-making, and the self-formulation of code of behaviour
about the issues concerning environmental quality. Definisi tersebut ada di dalam
“Unesco, Nature and Resources, Vol. VIII, No. 3, July - September 1971, Paris (Sumaatmadja,
1991).
Namun historisnya, jauh sebelum politisi dunia mengangkat isu
lingkungan ke pentas politik, sudah ada sejumlah karya tulis di tataran ilmiah
populer. Rachel Carson misalnya, setelah dari hari ke hari menyaksikan
lingkungan tempat tinggalnya, ia mulai merasa kehilangan nuansa ekologinya.
Tiada lagi burung berkicau, sapi dan domba banyak yang mati. Ada yang salah,
pikir Carson waktu itu. Lalu terbitlah bukunya dengan judul The Silent Spring (Musim Bunga Yang Sunyi) pada 1962 yang
kemudian best seller dan
ikut membentuk pola pikir setiap “politisi hijau” di Amerika Serikat. Buku
fenomenal itu lantas berubah seolah-olah menjadi “textbook” di tataran akademisi, pebisnis dan politisi,
selain dibaca oleh masyarakat awam.
Pada awal dekade berikutnya di tingkat dunia peran politisi
hijau semakin besar. Stockholm, sebuah kota di Swedia mencatat sejarah dan
pasti selalu tersirat di benak pencinta lingkungan. Pada 5 Juni 1972 di kota
itu berlangsung konferensi PBB tentang lingkungan hidup (UN Conference on the
Human Environment). Kota Stockholm
dipilih karena paparan masalah lingkungan pertama kali dicetuskan oleh wakil
dari Swedia ketika sidang PBB pada 28 Mei 1968. Hasilnya adalah Deklarasi
Stockholm yang lantas dijadikan acuan oleh negara peserta untuk peduli
lingkungan, advokasi lingkungan dan membentuk kementerian lingkungan. Di
Indonesia dinamai Kementerian Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup (Menneg
KLH) yang sekarang sudah bermetamorfosis menjadi Kementerian Negara Lingkungan
Hidup.
Yang juga dapat dijadikan tonggak awal perkembangan Pendidikan
Lingkungan ialah kasus pencemaran lingkungan terbesar di Jepang, yaitu Minamata
yang terjadi sporadis antara tahun 1950 – 1970. Kasus besar ini berkaitan
dengan limbah metilmerkuri yang mencemari ikan dan kerang laut yang
merupakan makanan sehari-hari orang Jepang. Akibatnya, muncullah visi baru
tentang lingkungan yang dengan cepat mencuat di tataran elite politiknya.
Kemudian warganya yang ketakutan dan merasa terancam hidupnya menyerukan agar
pejabat pemerintahan dan politisi peduli pada lingkungan. Selanjutnya politisi
di Diet Jepang intensif
menyusun rancangan undang-undang yang akhirnya menghasilkan 14 buah
undang-undang. Sebab itulah di Jepang muncul sebutan Pollution Diet pada dekade 1970-an.
Bagaimana di Indonesia? Dalam versi pemerhati lingkungan sejak
dulu sampai sekarang nyaris tidak ada politisi hijau di Indonesia. Padahal
spirit ekologi di dalam konstitusi kita, yakni pasal sosioekologi (pasal 33 UUD
1945) jelas-jelas mengakomodasi potensi lingkungan yang dikedepankan oleh the founding fathers. Meskipun pada masa itu mereka tidak sempat
“berteriak” perihal lestarikan fungsi lingkungan, merekalah politisi hijau yang
sesungguhnya, yang peduli pada ruang hidupnya. Politisi dari beragam daerah itu
mewakili tradisi konservasi ekologi daerahnya. Hal ini masih melekat hingga
kini di kalangan masyarakat meski telah terkontaminasi oleh kepentingan politik
dan ekonomi pemerintah (pusat, daerah). Tetapi eksistensinya tetap terjaga
semacam kearifan masyarakat tradisional. Artinya, politisi dan birokrat kita
hendaklah belajar kearifan ekologi pada kaum yang “tak terdidik” yang tinggal
jauh di pelosok.
Tradisi ujung ladang masyarakat
Melayu di Sumetera Utara misalnya, selalu berwawasan lingkungan kalau akan
membuka hutan. Meski menebang pohon dan membabatnya, selalu ada vegetasi
pelindung yang tersisa. Pola seperti ini membantu menahan tanah agar tidak
erosi atau merusak tanaman. Suku Dayak di Kalimantan punya tradisi Nyaang. Mereka biasa membuat lajur isolasi pada
ladang atau ketika membabat hutan untuk melokalisir kebakaran. Begitu pun awig-awig orang Bali yang melarang menebang pohon
(bunut atau beringin). Kemudian, tradisi sasi di Saparua Maluku berlaku di darat atau di laut atas
komoditi yang haram dieksploitasi untuk waktu terbatas. Semuanya adalah
kearifan tradisional masyarakat yang awam dengan konsep atau teknologi terbaru
yang diagung-agungkan orang kota yang justru sering merusak lingkungan.
Tidakkah politisi dan birokrat Indonesia belajar dari kearifan
tradisional itu? Apakah kepedulian politisi-birokrat atas lingkungan memang
kalah oleh para “tradisionalis” itu? Adakah politisi-birokrat yang tak sekedar
peduli lingkungan dalam retorika politiknya belaka? Adakah partai politik yang
tak sekadar proforma membuat biro atau divisi lingkungan? Adakah anggota dewan
yang berpolemik dengan birokrat, pemerintah menyangkut masalah pelestarian
fungsi lingkungan? Yang terjadi malah sejumlah politisi, baik di pusat maupun
di daerah, terlibat dan melindungi pembalak liar kayu hutan kita dan berada di
balik alih fungsi hutan dan lahan di daerah-daerah di Indonesia.
Banyak lagi contoh seperti tersebut diberitakan di koran-koran
lokal dan nasional. Tak hanya di bidang “kebijakan” yang tidak bijak dan
manipulatif, banyak juga program yang usianya hanya seumur jagung. Berikut ini
ada beberapa yang pernah menjadi isu nasional. Dulu ada program Segar Jakartaku
dan Hari Tanpa Kendaraan Bermotor. Juga Langit Biru. Ada satu lagi, Prokasih:
Program Kali Bersih. Dalam lingkup Jawa Barat ada Masyarakat Cinta Citarum.
Tetapi ini “swasta”, bukan dikonstruksi oleh birokrat/pemerintah. Dari sekian
banyak itu, tiada satu pun yang signifikan berhasil. Jakarta kian gerah,
kendaraan bermotor makin banyak, langit terus kelabu, dan air Citarum
menghitam. Banjir sudah tak terhitung lagi. Program lokal juga ada seperti
Gerakan Cikapundung Bersih di Kota Bandung yang akhirnya sekadar seremonial
belaka, kehabisan “daya tenaga” di tengah jalan.
Kalau begitu adanya, adakah politisi-birokrat yang berorientasi
ekologi saat ini? Patut diakui, kementerian yang mengurusi masalah lingkungan
mulai 1978 sampai sekarang masih ada. Di antara produk undang-undangnya adalah
UU No. 4 tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup yang
didukung oleh sejumlah Peraturan Pemerintah dan Keputusan menteri untuk tindak
lanjutnya. Karena perlu perbaikan, telah pula dikeluarkan UU No. 23 tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Kemudian disahkan juga UU No. 7 tahun
2004 tentang Sumber Daya Air. Lantas, kapankah undang-undang tentang Pendidikan
Lingkungan dirancang? Undang-undang ini diperlukan untuk membangkitkan spirit
pedidik (mahasiswa, murid, santri) sekaligus memberikan landasan yang kuat
dalam hukum positif kita.
Apakah spirit Pendidikan Lingkungan? Menurut IUC seperti ditulis
di atas, Pendidikan Lingkungan berkaitan dengan penanaman nilai-nilai (values) hubungan antara manusia dan lingkungannya,
mengembangkan kemampuan dan perilaku yang diperlukan untuk memahami hubungan
antara manusia, budaya, dan lingkungan biofisikanya (termasuk kimia, tentu
saja, yakni biofisikokimia, penulis). Pendidikan Lingkungan juga melatih manusia khususnya murid,
santri, mahasiswa dalam upaya pengambilan keputusan yang bertanggung jawab atas
isu lingkungan kemudian menerapkannya dalam diri peserta didik dan pendidik
(selanjutnya istilah peserta didik diakronimkan menjadi pedidik). Semua itu dilakukan demi mempertahankan
(melestarikan) kualitas dan fungsi lingkungan.
Lantas fakta berkata, Pendidikan Lingkungan belum optimal
hasilnya. Ada berbagai sebab, mulai dari lingkup materi pelajaran, metode
pembelajaran, kemampuan guru, dan perilaku santri, murid, mahasiswa sebagai
pedidik. Sebagai contoh, mari dikaji mata pelajaran lingkungan di Kota Bandung,
Jawa Barat. Pada saat naskah buku ini ditulis, sudah lebih setahun muatan lokal
Pendidikan Lingkungan Hidup (Mulok PLH) dilaksanakan di sekolah-sekolah di Kota
Bandung. Tujuan pelajaran ini, seperti ditulis di dalam Peraturan Walikota No.
031/2007 tentang Muatan Lokal Pendidikan Lingkungan Hidup, adalah mendukung
upaya perbaikan kualitas lingkungan Kota Bandung agar menjadi tertib, bersih,
dan indah. Materi pokok yang diharapkan diserap dan diterapkan murid (juga
gurunya) meliputi konsep dasar lingkungan hidup, K3 (Ketertiban, Kebersihan,
Keindahan), P4LH (Pembibitan, Penanaman, Pemeliharaan, dan Pengawasan
Lingkungan Hidup), dan penerapan Iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi) dalam
mengelola lingkungan.
Bagaimana pelaksanaannya di sekolah? Dari hasil survei dan tanya
jawab dengan guru dan murid-muridnya dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan PLH
belum tepat mengenai sasaran. Sebab, tidak semua sekolah atau tidak semua
satuan pendidikan memberlakukan muatan lokal ini. Ada sekolah yang sudah
mengajarkan PLH tetapi terbatas sebagai sisipan dalam pelajaran biologi,
sekadar tambahan dan tidak menjadi pelajaran inti. Karena bentuknya sisipan
maka tentu saja tidak mendapat perhatian mendalam dari siswa maupun gurunya.
Apalagi ada kata “lokal” yang ditempelkan pada pelajaran itu. Kata tersebut
menyebabkan murid dan gurunya menganggap PLH tidaklah penting atau
dianaktirikan sehingga seperti ada tapi tiada, sekadar aksesoris. Bahkan ada
sekolah yang menyatakan di dalam kurikulumnya sebagai pelajaran yang bersatu
dengan biologi dan ditulis di dalam kurung. Tak salah memang, sebab lingkungan
ini demikian luas dan bisa dimasuki dari banyak sudut pelajaran seperti biologi,
kimia, IPA, geografi, dll. Tetapi sayang, tidak ada guru khusus yang mengampu
pelajaran ini yang memberikan pengenalan konsep dasar sains dan teknologi
lingkungan.
Atas dasar fakta tersebut, muatan lokal PLH ini hanya
ditempatkan sebagai pelajaran proforma dan tidak diseriusi. Oleh sebab itu,
pemerintah pusat dan daerah diharapkan mereposisi mulok ini termasuk menyusun
rancangan undang-undang Pendidikan Lingkungan agar menempati posisinya sesuai
dengan harapan dan agar dapat memberikan ilmu, wawasan, dan pengalaman kepada
guru, dosen dalam memandang lingkungan dari segi rekayasa (engineering) sekaligus mengubah stereotipe guru, dosen,
santri, murid dan mahasiswa dalam memandang lingkungan. Konsepnya dapat
diadopsi dari Trilogi Pendidikan: sains (science), teknologi (technology), dan lingkungan (environment).
Opsi Solusi
Mari kembali ke pertanyaan tentang kata “pendidikan” dan
“pengetahuan”. Kata pendidikan bermakna memberikan pembelajaran, yaitu proses
transfer ilmu dan teknologi, sekaligus memasukkan nilai-nilai moral dalam
interaksi manusia dengan lingkungannya. Adapun pengetahuan atau knowledge terbatas pada “tahu” (know) yang nilainya di bawah kata didik. Sasaran
pendidikan adalah aspek kognitif, afektif dan psikomotorik yang mengandung
makna tahu kemudian membentuk sikap mental (afektif) yang lantas diterapkan
berupa keterampilan (psikomotorik) dalam hidup sehari-hari lewat kemampuan di
bidang (jurusan, program studi) masing-masing. Wujudnya ialah pelibatan sarjana
dari semua disiplin ilmu dan teknologi (sainstek) dalam upaya melestarikan
fungsi lingkungan.
Telaahan sasaran pendidikan di atas berujung pada peningkatan
peran pemerintah pusat-daerah dalam memfasilitasi guru, ustadz, dosen sehingga
efektif mengantarkan murid, santri, dan mahasiswanya memperoleh pengalaman
positif yang mendukung upaya pelestarian fungsi lingkungan. Guru, ustadz, dosen
hendaklah diberikan pelatihan (training), seminar, atau bentuk lainnya tentang Pendidikan Lingkungan
dengan memberikan fokus materi berupa masalah lingkungan seperti krisis air
minum, air limbah, sampah, udara, kesehatan lingkungan, kebisingan, dll yang
terangkum dalam akronim watsanen atau water, sanitation, environment tanpa melupakan cabang ilmu lingkungan,
yakni ekologi, “anak” mata pelajaran biologi.
Untuk implementasinya pemerintah pusat-daerah dapat
menyelenggarakan Pelatihan Pendidikan Lingkungan (Latdikling) dalam upaya mewujudkan sekolah dan kampus
yang bersahabat dengan lingkungan (enviroschool) di seluruh Indonesia. Titik berat Pendidikan Lingkungan
haruslah pada aspek afektif dan psikomotorik sehingga murid, santri, dan
mahasiswa tak hanya memiliki ilmu (kognitif) tetapi juga mampu mengubah
perilakunya. Mereka harus melihat bagaimana proses pencemaran air dan dampaknya
bagi kesehatan. Ketika melihat sampah yang ada dalam benaknya ialah sumber daya
penghasil uang. Air limbah pun dijadikan potensi pupuk buatan atau didaur ulang
menjadi air minum. Pendeknya, Pendidikan Lingkungan harus mampu mendekatkan
guru dan muridnya, dosen dan mahasiswanya kepada lingkungan dan menjadi bagian
dari solusi. Namun harus diingat, materinya hendaklah dibatasi agar tidak
meluas menjadi persoalan biologi sehingga mengaburkan masalah lingkungan yang
erat dengan kehidupan sehari-hari.
Kalau hasil Pendidikan Lingkungan di pesantren, madrasah, SD,
SMP, SMA belum juga optimal, maka murid yang kemudian berstatus sebagai
mahasiswa di perguruan tinggi negeri/swasta hendaklah diberikan lagi mata
kuliah Pendidikan Lingkungan. Hakikatnya, seperti sifat pendidikan yang dimulai
dari buaian hingga dimasukkan ke liang lahat, Pendidikan Lingkungan pun
demikian. Pendidikan Lingkungan ini berlangsung selamanya. Mahasiswa selayaknya
didekatkan terus pada lingkungannya lewat jalur formal berupa pendidikan
(perkuliahan) agar dekat dengan lingkungan. Dekat bukanlah fisiknya belaka
melainkan juga spiritnya dengan cara mencintai lingkungan seperti mencintai
dirinya. Itu sebabnya, mahasiswa khususnya jenjang strata satu (S1) wajib
dikenalkan pada mata kuliah Pendidikan Lingkungan demi menggugah rasa memiliki
atas lingkungannya.
Rasa cinta lingkungan ini dirangsang dengan stimulan tiga pilar
yang telah disebut di atas, yaitu Trilogi Pendidikan. Di dalam trilogi inilah
manusia tinggal (live) dan merawat
kehidupannya. Mahasiswa sebagai bagian dari kelompok masyarakat yang terdidik
perlu memahami lingkungannya. Manusia (mahasiswa) pasti memerlukan ilmu
lingkungan. Sebab, bicara lingkungan sebetulnya bicara tentang kehidupan
manusia. Manusia hidup di dalam lingkungan dan berinteraksi dengan lingkungan.
Manusia perlu air, perlu udara, perlu ruang hidup yang semuanya adalah komponen
lingkungan. Manusia juga mengeluarkan limbah, baik padat, cair, maupun gas dan
limbah ini pun masuk lagi ke lingkungannya dan digunakan lagi oleh manusia.
Artinya, langsung tak langsung, manusia mempengaruhi lingkungan dan juga pasti
dipengaruhi oleh lingkungannya.
Kepedulian manusia pada lingkungan menjadi konsekuensi logis
interaksi manusia dan lingkungan. Mau tak mau, suka tak suka manusia harus
akrab dengan lingkungan. Sebelum mencapai taraf akrab itu manusia harus tahu
dan paham dulu tugasnya terhadap lingkungan. Jangan sampai manusia tidak tahu
apa yang mesti dilakukannya terhadap lingkungan dan peran apa yang diembannya
sebagai makhluk berakal yang mampu mempengaruhi kualitas lingkungan. Sebab,
manusialah yang mampu merusak dan memperbaiki mutu lingkungan. Tetapi sayang,
tak semua orang memahami lingkungan. Jangankan paham, tahu saja pun tidak.
Makin besar lagi keburukannya ketika kaum terdidik atau kalangan sekolah tidak
tahu dan tidak paham tentang tugasnya sebagai pelestari fungsi lingkungan.
Bahkan apa itu lingkungan pun masih banyak yang belum tahu. Setiap bicara
lingkungan selalu saja pikirannya mengarah kepada pohon, udara, dan air. Tidak
salah, memang! Tetapi masalah lingkungan jauh lebih kompleks daripada sekadar
pohon, air, dan udara.
Lantas, adakah alat yang dapat digunakan untuk meluaskan peran
dan paham manusia (baca: murid, mahasiswa) terhadap pelestarian fungsi
lingkungan? Secara kelembagaan, pemerintah memang memiliki lembaga dan/atau
badan yang mengurusi bidang lingkungan. Tak perlu disebut di sini apa saja
lembaga dan/atau badan itu. Tetapi faktanya lembaga dan/atau badan ini belum
mampu berfungsi optimal untuk meluaskan pemahaman masyarakat (dan juga murid,
mahasiswa) atas lingkungan. Malah cenderung lembaga/badan ini bertugas
sendiri-sendiri, terlepas dari perannya sebagai agen pemberdaya masyarakat
dalam hal lingkungan. Segala yang dibuat menjadi sekadar proforma demi
orientasi politik sesaat.
Bagaimana hasil Pendidikan Lingkungan di perguruan tinggi? Tentu
saja tidak bisa segera tampak, tak bisa instan. Pendidikan apapun, khususnya di
bidang lingkungan bukanlah seperti main sulap atau semacam kun fayakun. Hasilnya baru akan tampak setelah sekian tahun,
setelah murid dan mahasiswa, juga guru dan dosennya berupaya menerapkannya
dalam keseharian. Pendidikan Lingkungan membutuhkan proses, perlu waktu panjang
untuk pembentukan perilaku, yaitu perilaku manusia pencinta lingkungan, manusia
yang peduli pada pembangunan yang berkawan lingkungan. Istilah formalnya,
pembangunan berwawasan lingkungan (sustainable development).
Demikianlah bagian awal yang dijadikan pintu masuk (brainstorming) tentang kondisi lingkungan dan perilaku
(akhlak) manusia terhadap lingkungan. Aspek sejarah ringkas tentang
perkembangan kepedulian atau ketakpedulian manusia atas lingkungan lalu diikuti
oleh opsi yang dapat diambil untuk menyelesaikan (bukan memecahkan) masalah
lingkungan diharapkan dapat mengantarkan mahasiswa (dan siswa) ke dalam mata
kuliah (pelajaran) Pendidikan Lingkungan.
Kompilasi
Sebagai bahan rujukan, buku ini diarahkan untuk mahasiswa,
siswa, guru, dosen dan siapa saja yang ingin mempelajari seluk-beluk lingkungan
yang tidak hanya dilihat dari “kacamata” sains (ilmu murni) tetapi juga
teknologi (terapan). Di dalam bahasan bab tertentu diberikan teknologi tepat
guna yang sederhana (appropriate technology) yang implementatif, dapat dicobaterapkan oleh mahasiswa yang
Kuliah Kerja Nyata (KKN), Kuliah Lapangan (Kulap) atau apapun namanya, baik di
desa maupun di kota. Pada pokok bahasan bab (materi) tertentu, mahasiswa
diharapkan berhasil meningkatkan ranah afektif dan psikomotoriknya terhadap
lingkungan setelah tuntas kuliahnya, lulus mata kuliah Pendidikan Lingkungan,
tidak hanya di ranah kognitif (sekadar memiliki ilmu atau pengetahuan
lingkungan).
Oleh sebab itu, mata kuliah Pendidikan Lingkungan ini memiliki
tujuan antara lain: (1) mahasiswa (peserta didik atau pedidik) dapat memahami bahwa manusia dan lingkungan
bersifat saling mempengaruhi. Manusia bisa menjadi subjek sekaligus objek
penderita ketika berhubungan dengan lingkungan. Namun kuncinya tetap di tangan
manusia sebagai makhluk hidup yang berakal, berpikir dalam pengembangan sains
dan teknologi; (2) mahasiswa diharapkan mampu menganalisis masalah lingkungan
yang terjadi dalam lingkup lokal (ini minimalnya), nasional, dan global serta
mampu memberikan opsi solusi, minimal di dalam tataran teoretis dengan
memberikan pendapat, pandangan atas masalah lingkungan tersebut. Lebih bagus
lagi adalah mampu memaparkan masalah lingkungan dan memberikan opsi solusinya
secara tertulis, baik dipublikasikan di media massa maupun disebarkan lewat
forum informal; (3) mahasiswa mampu memantau, mengelola, memanfaatkan, kemudian
mengembangkan materi dalam sainstek lingkungan untuk kehidupan manusia, hewan
dan tumbuhan agar sitiran Allah dalam Surat Ar Ruum ayat 41 (telah tampak
kerusakan (lingkungan) di darat dan laut karena ulah manusia) dapat dikurangi.
Siapa sasaran Pendidikan Lingkungan? Sudah jelas, sasaran
Pendidikan Lingkungan adalah manusia, semua orang. Hanya saja, buku ini
dikhususkan untuk mahasiswa di semua program studi, jurusan di semua fakultas
dengan latar belakang IPA maupun dan IPS karena tidak ada rumus (kimia) yang
kompleks dalam buku ini, malah cenderung diberikan secara populer. Apalagi
alamiahnya, Pendidikan Lingkungan bersifat universal sehingga berlaku untuk
semua orang. Dalam pelaksanaannya tentu saja dapat diperluas agar tidak hanya
mahasiswa yang memperoleh ilmu tentang lingkungan tetapi juga masyarakat umum.
Oleh sebab itulah, Pendidikan Lingkungan hendaklah diberikan juga kepada murid
sekolah (santri, TK, SD, SMP, SMA, SMK, madrasah), orang tua yang belum pernah
sekolah/kuliah, pejabat pemerintahan (pusat, daerah), pengusaha terutama yang
usahanya langsung bersentuhan dengan sumber daya alam seperti hutan, tambang,
air, laut, perkebunan, tekstil, industri makanan dan minuman yang sarat
pencemar. Tokoh masyarakat dan tetua adat juga perlu diberikan Pendidikan
Lingkungan, bahkan mereka bisa berperan kunci dalam upaya memberikan pemahaman,
pengertian tentang pentingnya peduli lingkungan. Tentu saja materi
pembelajarannya harus disesuaikan dengan pedidiknya (audience).
Materi pembelajaran dalam buku ini dibuat secara populer agar
dapat dipelajari oleh semua mahasiswa di semua program studi. Materi ini pun
dapat dimodifikasi agar dapat disampaikan kepada murid di sekolah menengah atau
yang lebih rendah, atau diberikan kepada masyarakat umum. Agar mencapai tujuan
yang diharapkan, Pendidikan Lingkungan hendaklah dilaksanakan dengan pendekatan
dan metode yang nyaman bagi pedidik dan mudah dilaksanakan oleh
pendidik. Pendekatan pembelajaran mengarah pada pedidik secara individual,
orang per orang dan secara komunal seperti organisasi massa maupun sekolah dan
perguruan tinggi. Materinya berbeda-beda, disesuaikan dengan tempat, waktu,
situasi, kondisi pedidik, fleksibel atau luwes dalam pelaksanaannya.
Untuk mencapai tujuan tersebut, minimal ada tujuh metode yang
dapat ditempuh dan dilaksanakan berkesinambungan, berulang-ulang karena sifat
pikiran manusia yang sering lupa (diadaptasi, diubah, ditambah seperlunya dari
Sumaatmadja, 1991).
- Kuliah,
klasikal. Metode ini dikenakan kepada mahasiswa (juga murid), diadakan
secara formal di kampus (sekolah). Pedidik berkewajiban (rela atau
terpaksa) belajar dan diuji (evaluasi) pada akhir semester kemudian
diberikan nilai lulus atau gagal.
- Keteladanan.
Metode ini dapat diterapkan untuk semua orang di segala tempat. Kyai,
ustadz memberikan keteladanan kepada santrinya. Orang tua memberikan
keteladanan kepada anak-anaknya. Pejabat meneladankan persahabatan dengan
lingkungan kepada bawahannya. Begitu juga pengusaha dapat memberikan
contoh teladan kepada karyawannya.
- Ceramah.
Metode ini diberikan oleh kyai, ustadz, dosen, guru, pejabat, tokoh dan
tetua adat kepada orang banyak dalam suatu forum. Pengajian, acara
keluarga (pernikahan, syukuran, sunatan) atau rembug desa dapat dijadikan
wahana peduli lingkungan, minimal mengenalkan atau mengingatkan bahwa kita
perlu peduli dan menjaga kelestarian fungsi lingkungan.
- Diskusi.
Hal ini dapat dilaksanakan pada setiap pertemuan resmi dan tak resmi, baik
di sekolah, kampus, kantor, bahkan pada acara pernikahan, sunatan, dll.
Diskusi informal di kalangan keluarga besar atau dengan teman sekantor,
sekampus, sedaerah sambil bertukar informasi dapat menjadi “obat mujarab”
dalam meluaskan kepedulian masyarakat terhadap lingkungan.
- Seminar.
Acara seminar biasanya digelar oleh masyarakat kampus atau dinas
pemerintah dan pesertanya adalah kalangan yang tingkat pendidikannya
relatif tinggi, sama dengan atau di atas akademi. Acara ini biasanya
melibatkan pakar atau nara sumber yang kompeten di bidang lingkungan.
- Percontohan.
Manusia lebih senang melihat sesuatu yang nyata karena dapat segera
menilainya, mengapresiasinya. Percontohan, prototipe merupakan bentuk
fisik yang dapat dilihat langsung oleh masyarakat. Misalnya, taman,
permukiman yang bebas banjir, kantor yang ramah lingkungan karena sudah
ber-IPAL, kampus yang nyaman.
- Spanduk,
selebaran, brosur, dan iklan, termasuk yang ditayangkan di media televisi,
dirilis di radio, atau dipasang di jalan-jalan. Ajakan ini sebaiknya
menggunakan kalimat efektif agar cepat selesai dibaca dan dapat dimengerti.
Kalimatnya pendek-pendek saja, boleh sesuai dengan Ejaan Yang
Disempurnakan (EYD), boleh juga dengan bahasa gaul anak muda, bergantung
pada sasaran yang dituju.
Demikianlah bahasan Pendidikan Lingkungan yang mengawali buku
ini. Semoga Pendidikan Lingkungan, baik di pesantren, madrasah, SD, SMP, SMA,
SMK, dan lebih khusus di perguruan tinggi betul-betul berjalan di atas rel
idealismenya dan menjadi the avant garde pola pendidikan yang bersahabat dengan
lingkungan di Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar